159 – DASAR PENGAMALAN NIDA’ ROSUL “YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH”
Mengamalkan dzikrullah dengan kalimat nida’ “Yaa Sayyidii Yaa Rasulalloh” merupakan pelaksanaan tuntunan Rasulullah Saw.
1. Allah Swt melarang meninggikan suara dihadapan Rasulullah Saw.
Dalam al-Qur’an, Allah Swt ketika memanggil Rasulullah Saw dengan panggilan kehormatan atau gelar misalnya :
يَأَيُّهَا النَبِيُّ = wahai Nabi,
يأَيُّهَا الرَسُولُ = wahai Rasul,
يَأَيُّهَا المُدَثِّرُ = wahai orang yang berselimut (menggigil karena takut kepada Allah).
Sedangkan kepada nabi yang lain, Allah Swt memanggil dengan namanya saja. Misalnya, wahai Ibrahim, wahai Musa, wahai Isa, wahai Nuh, wahai Adam.
Allah Swt yang memiliki sifat serba Maha saja, memanggil Rasul-Nya SAW dengan panggilan kehormatan, apalagi ummat yang mengikuti sunnahnya.
Bahkan memanggil (nida’) kepada Rasulullah Saw dengan suara keras (sombong), tanpa disertai penggilan kehormatan dan keagungan atau gelar, merupakan sikap yang dapat merusakkan amal kebaikan Hal ini tercermin dalam :
a). Firman Allah, Qs. an-Nur/ 63 dan al-Hujurat/ 2-3 :
لاَتَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا :
Janganlah kamu semua menjadikan panggilan kepada Rasul diantara kamu, sebagaimana kamu memanggil kepada yang lain.
يَأَيُّهَا 0 أَمَنُوا لاَتَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوقَ صَوْتِ التَبِيِّ وَلاَ تَجْهَرُوا لَهُ بِالقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لاَ تَشْعُرُوْن
َ Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suaramu diatas suara Nabi, dan janganlah kalian mengeraskan suara dihadapannya. Sebagaimana kalian dengan lainnya. Salah-salah hal demikian dapat merusak amalmu, sedangkan kamu tidak menyadarinya.
إِنَّ الذِيْنَ يَغُضًّونَ أَصْوَاتَهُُمْ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ اُولَئِكَ الذِيْن امْتَحَنَ اللهُ قُلُوْبَهُمْ لِلتَقْوَى, لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيْمٌ
Sesungguhnya orang yang merendahkan suara dihadapan Rasulullah, merekalah orang yang telah diuji ketaqwaannya oleh Allah. Kepada mereka ampunan dan pahala yang agung.
2. ٍSecara ruhani Rasulullah Saw adalah Pimpinan Mahluk
a). Kata sayyid (pimpinan) memiliki makna ganda: hakikat (semestinya) hanya boleh ditujukan kepada Allah Swt, dan majaz (kiasan) yang dapat ditujukan kepada mahluk yang berhak menyandangnya.
Makna hakikat. Dalam hadis riwayat Imam Nasa, dijelaskan bahwa sahabat Mathraf Ra berkata : bahwa para sahabat berkata kepada Rasulullah Saw :
أَنْتَ سَيِّدُنَا , قَال : السَيِّدُ اللهُ
Paduka adalah pimpinan kita. Jawab Rasulullah Saw : Pimpinan adalah Allah. (kitab Amalul Yaum wal Lailah, nomer hadis : 248).
Sekelompok orang berkata kepada Rasulullah Saw :
يَامُحَمَّد أَنتَ سَيِّدُنَا وَابْنُ سَيِّنَا أَنْتَ خَيْرُنَا وَابْنُ خَيْرِنَا, قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَأَيُّهَا النَاسُ قُولُوا بِقَولِكُمْ وَلاَتَسْتَهْوِِيَنَّكُمْ الشَيْاطِيْنُ أنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدُ اللهِ, أَنَا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولِهِ, وَمَا أَحَبُّ أَنْ تَرْفَعُونِي التِي أَنْزَلَنِيْهَا اللهُ.
Wahai Nabi Muhammad SAW, Engkau adalah pimpinanku dan anak dari pimpinan kami, engkau adalah orang terbaik kami dan anak dari orang terbaik kami. Jawab Rasulullah Saw : Wahai manusia, berkatalah dengan perkataanmu. Dan janganlah terbujuk setan. Aku adalah Muhammad Ibn Abdullah, aku adalah hamba Allah dan untusan-Nya. Aku tidak senang jika kalian meninggikanku diatas kedudukan yang Allah telah menempatkanku padanya. (kitab Amalul Yaum wal Lailah, nomer hadis : 249).
Penghormatan dan pengagungan yang dilarang, jika melebihi/melampaui batas ketentuan oleh Allah Swt. Misalnya pengagungan dan penghormatan yang mengarah kepada pemahaman bahwa Rasulullah Saw sejajar dengan Allah Swt, apalagi melebihi-Nya atau sebagai anak Alloh (seperti pemahaman agama lain). Sebagaimana kecaman Allah kepada kaum nasrani yang menganggap Nabi Isa As sama dengan Allah Swt. Allah Swt berfirman Qs. al-Maidah/ 17 :
لَقَدْ كَفَرَ الذِيْنَ قَالُا إِنَّ اللهَ هُو المَسِيْحُ بْنُ مَرْيَمَ. :
Sungguh kafir orang-orang yang menganggap bahwa Allah adalah Isa Ibn Maryam.
Makna majaz. Kata sayyid dapat ditujukan kepada mahluk yang patut menyandangnya.
a. Allah Swt berfirman Qs. Ali Imran/ 39
إِنَّ اللهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَ مُِصَدِّقًا بِكَلِمَةِ مِنَ اللهِ وَسَيِّدًا وَحَصُوْرًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَلِحِيْنَ
Sesungguhnya Allah memberi kebahagiaan kepadamu dengan Yahya yang membenarkan kalimat dari Allah, yang menjadi pmpinan, orang terhormat dan Nabi dari orang yang shalih.
b. Rasulullah Saw bersabda :
يَوم الجُمْعَةِ سَيِّدُ الاَيَّامِ :
Pimpinan hari adalah hari jum’ah. (HR.Bukhari).
c. Rasulullah Saw bersabda :
أَنَا سَيِّدُ العَالَمِيْنَ
Aku adalah pimpinan mahluk alam semesta. (HR.Baihaqi, kitab kasyful khifa’/ al-Ajuluni, nomer hadis 617).
d. Rasulullah Saw :
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ أَدَمِ أَنَا أَوَّلُ شَافِعٍ أَنَا اَوَّلُ مُشَفَّع :
Aku pimpinan anak Adam. Aku orang pertama yang memberi pertolongan. Aku orang pertama yang mendapat pertolongan Allah. (Sunan Abu Daud juz IV, bab syafaat. Dan HR. Bukhari).
Penjelasan hadis ini, menerangkan bahwa maksud kalimat pada hari kiamat, adalah : Diakhirat yang Allah Swt mutlak sebagai Penguasa Tunggal tetap memfungsikan ketinggian dan keagungan Rasulullah Saw, apalagi didunia. (Kitab Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari).
e. Rasulullah Saw bersabda (saat itu bersama Sayyidina hasan Ibn Ali) :
إِنَّ هَذَا ابْنِي سَيدِّ ٌ
Sesungguhnya anakku ini adalah pimpinan (HR. Nasai/ Amalul Yaum wal Lailah, nh : 256).
f. Rasulullah Saw bersabda :
لاَيَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ عَبْدِي وَأُمَّتِي وَلاَ يَقُل المَمْلُوكُ رَبِّي, وَلَكِنْ لَيَقُل المَالِكُ فَتَايَ وَفَتَاتِي وَالمَمْلُوكُ سَيِّدِي وَسَيِّدَتِي, فَإِنَّكُمْ المَمْلُكُونَ وَالرَبُّ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى
Sungguh, janganlah kalian memanggil “abdiku dan ummatku” (kepada bawahan), Dan janganlah memanggil “rabbii”/ Penguasaku/ Tuhanku (kepada atasan). Tetapi, panggillah (kepada bawahan) “remajaku”, dan “sayyidii/ sayyidatii” = pimpinan (kepada atasan). Karena kamu semua dikuasai atau dimiliki oleh Allah. Dan Penguasa adalah Allah Swt. (kitab Amal al-Yaum, nomer hadis 256).
قُومُوا إلَي سَيِّدِكُمْ :
Berdirilah (hormatlah) kepada pimpinanmu. (HR. Bukhari dan Muslim).
f. Tidak boleh memberikan gelar sayyid kepada orang munafik.
Rasulullah Saw bersabda :
وَلاَتَقُولُوا لِلْمُنَافِقِ سَـيِّدَنَا
janganlah kalian memanggil kepada orang munafiq : “pimpinan kita”. (Kitab Amalul Yaum wal lailah, nomer hadis : 245).
3. Setiap muslim (secara ruhani) dekat dengan Rasulullah Saw.
Semestinya telah banyak ayat al-Qur’an dan hadis yang menjelaskan tentang kedekatan Rasulullah Saw (secara ruhani) kepada setiap mukmin dari dahulu sampai akhir zaman. Hanya akal dan pemahaman manusia saja yang telah membelakanginya, hingga terperosok kedalam pemahaman yang batal.
a. Allah Swt berfirman, Qs. an-Nisa/ 80 :
مَنْ يُطِع الرَسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَا كَ عَلَيْهِمْ حَقِيْظًا
Barang siapa yang taat kepada Rasul, maka berarti telah taat kepada Allah. Barang siapa yang membelok (dari ketaatan), maka engkau tidak Kami utus untuk mengawasi mereka.
Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang berpaling dari ketaatan (dalam keadaan maksiat), Allah tidak memerintahkan Rasulullah Saw sebagai pemilihara mereka. Mafhum mukhalafah (pemahaman kebalikan), bahwa orang yang dalam ketaatan, Rasulullah Saw diperintah sebagai pemilihara/ penjaga.
Imam Qurthubi menjelaskan makna حَفيِظاً pengawas, dengan :
حَافِظًا وَرَقِيْبًا لآَعْمَالِهمْ –
Penjaga dan pengawas terhadap amal perbuatan mereka. (Kitab tafsir al-Qurthubi).
b. Allah Swt berfirman, Qs. al-Fatah/ 8-9 :
اِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبـشّرًا وَنَذيْرًا لتُؤْمِنُوا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ
Wahai Nabi, sesungguhnya Aku (Allah) mengutus Engkau (Nabi Muhammad SAW) menjadii saksi, dan sebagai penyampai berita gemgira (penghibur) dan pemberi peringatan. Agar mereka semua beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Al-Ghauts fi Zamnihi Imam Qurthubi Ra :
وَهُوَ شَاهِدٌ عَلَى أَفْعَالِهِمْ اليَوْمَ وَشَهِيْدٌ عَلَيْهِمْ يَوم َالقِيَامَةِ :
Beliau Rasulullah menyaksikan perbuatan manusia pada hari ini dan pada hari kiamat. (tafsir al-Qurthubi).
Al-Ghauts fi Zamanihi Syeh Yusuf an-Nabhani Ra menjelaskan
(Sa’adah ad-Daraini, hlm : 461- 62)
وَالشَاهِدُ لاَ بُدَّ أَنْ يَكُوْنَ حَا ضِرًا لِلمَشْهُودِ عَلَيْهِ وَنَاظِرًا لِلمَشْهُودِ بِه ِ فَعُـلِمَ أَنَّهُ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا لِئُ كُل العَالمِ وَحَاضرٌ فِي كُل زَمَانٍ
Rasulullah Saw sebagai saksi. Artinya senantiasa hadir serta melihat orang yang disaksikan. Sesungguhnya (jiwa) Rasulullah Saw itu memenuhi alam semasta dan hadir disetiap zaman.
وَبِالجُمْلَةِ وَالتَفْصِيْلِ فَهُوَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِِ وَسَلَّمَ مَوْجُوْدٌ بَيْنَ أَظْهَرِنَا حِسًّا وَمَعْنًى جِسْمًا وَرُوْحًا سِرًّا وَبُرْهَانًا
Dengan melalui dasar yang jelas, Rasulullah Saw berada diantara kita, baik secara hissy (indrawi) atau maknawi (metafisik), secara jasmani maupun rohani, atau secara rahasia atau nyata.
Al-Qadli Abul Fadlol ‘Iyadl al-Yahshabi menjelasan bahwa Syeh Sahal at-Tustari berkata :
مَنْ لَمْ يـَرَوِلا َيَةَ الرَسُول عَلَيْهِ فِي جميْعِ الاَحْوالِ وَيرَى نـَفْسَهُ فِي مُِلْكِهِ صَلى اللهُ عََليْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَـذُ وقُ حَلا َوَةَ سُـنـََّتِهِ لآنَّ النَبِيَ صَلى الله عَلَيْه وَسَلَّمَ قَال َ : لاَ يُؤْمِنُ أَحـَدُكمْ حـَتَّىأنْ أَكُـونَ أحَبَّ اِلَيْهِ مِنْ نَفْسِه
Barang siapa tidak memahami, bahwa penguasaan Rasulullah atas dirinya, dalam segala hal, dan tidak memahami bahwa dirinya dalam kepemilikan Rasulullah, maka ia tidak akan merasakan manisnya sunah Rasulullah Saw. Nabi Saw bersabda : Tidak iman kamu semua, sehingga Aku lebih dicintai dari pada dirinya sendiri. (Kitab as-Syifa’ bab mahabbah Rasul).
Al-Ghauts fi Zamnihi Imam Abu Hamid al-Ghazali Ra menjelaskan :
قَدْ مَنَعَ كَمَالُ الاِ يْمَانِ بِشَهَا دَةِ التَوحيْد لا َاِلَهَ اِلاَ الله مَالَم تقْـتَرِن بِشَهَادةِ الرَسُول ِمُحَمَّد رَسُولُ الله
Sangat terlarang menyempurnakan iman hanya dengan sahadah tauhid (tiada Tuhan selain Allah), tanpa disertai sahadah risalah (Muhammad adalah utusan Allah). (Ihya’/ Qawa’idul Aqa’id).
4. Rasulullah Saw sebagai media dzikr dan ma’rifat kepada Allah Swt.
Rasulullah Saw bersabda :
أَتَانِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَلاَمُ فَقَالَ إِنَّ رَبِّي وَرَبَّكَ يَقُوْلُ لَكَ تَدْرِي كَيْفَ رَفَعْتُ ذِكْرَكَ؟ قُلْتُ أَللهُ وََسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ لاَ اُذْكَرُإِلاَّ ذُكِرْتَ مَعِي.
Jibril As telah datang kepadaku dan berkata : sesungguhnya Tuhanku dan Tuhanmu bersabda untukmu : Tahukah kamu (Muhammad),bagaimana Aku meninggikan sebutanmu?. Aku menjawab : Allah dan utusannya lebih mengetahui. Allah bersabda : Tidak Aku anggap dzikir kepada-Ku, kecuali engkau (Muhammad) didzikir bersama Aku. (HR. Ibnu Hibban dan Abu Ya’la. Kitab Jam’us Shaghir juz I bab alif, dan kitab as-Syifa’ juz I, bab I, pasal I).
Dalam kitab as-Syifa’ dijelaskan penjelasan para ulama tentang makna hadis diatas :
a. Syeh ‘Atha’ al-Adami menjelaskan : bahwa seakan-akan Allah Swt bersabda :
جَعَلْتُ تَمَامَ الإِيْمَانِ بِذِكْرِكَ مَعِي, جَعَلْتُكَ ذِكْرًا مِنْ ذِكْرِي فَمَنْ ذَكَرَكَ ذَكَرَنِي
Aku jadikan sempurnanya iman dengan “dzikir kepadamu bersama Aku”. Aku menjadikanmu sebagai media dzikir kepada-Ku. maka barang siapa ingat kepadamu, berarti ia ingat kepada-Ku.
b. Imam Ja’far Shadiq Ibn Ali Ibn Husain Ibn Ali Ibn Abu Thalib Kw menjelaskan :
لآَيَذْكُرُكَ أَحَدٌ بِالرِسَالَةِ إِلاَّ وَذَكَرَنِي بِالرُّبُوْبِيَةِ :
Tidak ingat kepadamu melalui kerasulan (mu), kecuali ia telah ingat kepada-Ku dengan (rahasia) ke-Tuhanan-Ku.
Al-Ghauts fi Zamnihi Syeh Yusuf Ismail an-Nabhani Ra dalam kitabnya, (w. 1942 M), menjelaskan bahwa para waliyullah dan kaum sufi, sepakat berfatwa :
a. Muslim yang dapat menyadari kebersamaannya dengan Rasulullah Saw secara ruhaniyah, merupakan jalan untuk mencapai derajat iman, islam dan ihsan yang sempurna.
لاَيَكْمَلُ العَـبْدُ مَقَامَ العِرْفَانِ حَتَّىيَصِيْرَ اَنْ يَجْتَمِعَ بِرَسُولِ اللهِ صلى اللهُ عَليهِ وَسَلَّمَ بِحَسَابِ الرُوحانية
Tidak sempurna maqam irfan (makrifat) seorang hamba (kedekatan kepada Tuhan) sehingga ia dapat bersama dengan Rasulullah Saw secara ruhaniyah. (Sa’adah ad-Darain hlm : 435)
b. Wushul (sadar) kepada Rasulullah Saw berarti merasakan sadar wushul kepada Allah Swt.
وَمَعْلُومٌ أَنَّ مَنْ ذَاقَ لَذَّةَ وِصَالَ المُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَاَلِهِ وَسَلَّمَ ذَاقَ لَذَّةَ وِصَالَ رَبِّهِ تََعَالى وَمَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الوِصَالَيْنِ لَمْ يَذُقْ لِلْمَعْرِفَةِ مِنْ أَعْظَمِ الوَصَلِ التَعَلُّقِ بِصِفَاتِ الحَبِيْبِ وبِكَثْرَةِ الصَلاَةِ عَلَيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِِ وَسَلَّمَ
Telah jelas, bahwa barang siapa yang dapat merasakan nikmatnya wushul kepada Rasulullah Saw, ia akan merasakan nikmatnya wushul kepada Allah Swt. Dan barang siapa memisahkan kedua wushul tersebut, ia tidak akan merasakan manisnya makrifat. Sebaik-baik jalan wushul adalah ta’alluq kepada Nabi Saw serta banyak bershalawat kepada Rasulullah Saw. (Sa’adah/ hlm : 506).
Syeh Abul Abas al-Mursi Ra dan Syeh Hasan as-Sadzili Ra, juga menjelaskan makna hadis diatas :
لَوْحُجـِبْتُ طَـرْفَةَعَيْنٍ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَـلَيْهِ وَسَلمَّ مَاأَعْـد دْتُ نَفْسِي بَالمُسلِمِيْنَ
Jika sekiranya aku lupa kepada Rasulullah Saw. dalam waktu satu kerlipan mata saja, maka aku tidak berani menghitung diriku sebagai golongan orang Islam. (Kitab Sirajut Thalibin/ I/ 262, dan kitab Thabaqat al-Kubro-nya as-Sya’rani/ II/ bab as-Syadzali).
e. Rasulullah Saw sebagai penyalur pemberian Allah kepada mahluk
Rasulullah Saw adalah Perantara Agung (وَاسِـطَةُ العُظْمى) antara Allah Swt dan hamba.
1. Firman Allah Swt, Qs, Ali Imran/ 67 :
اَللهُ وَلِيُّ المُؤْمِنِيْن:
Allah adalah penolong orang beriman.
2. Firman Allah swt, Qs, al-Maidah/ 55 :
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ
Sesungguhnya Penolong kamu semua, hanyalah Allah dan Rasul-Nya.
Banykan muslim yang salah memahami kedua ayat ini serta memiliki pemahaman syirik kepada Allah. Berkaitan dengan ayat ini, Imam Ahmad as-Shawi yang menjelaskan : dikaitkannya pertolongan Rasulullah Saw dengan pertolongan Allah menujukkan bahwa Rasulullah Saw : ُ
وَاسِطَةُ العَظْمَى فِي كُلِّ نِعْمَةٍ:
merupakan perantara agung (perantara tunggal) dalam segala nikmat. Pertolongan Rasulullah Saw adalah pertolongan Allah Swt. (Kitab tafsir Shawi juz I)
3. Makna dari kedua ayat diatas lebih diperjelas lagi oleh firman Allah Swt, Qs. al-Maidah/ 35 :
يَأَيُّهَا الذِيْنً أَمَنُوا اتَقُوااللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الوَاسِيْلَةِ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kalian kepada Allah, dan carilah wasilah. Dan bersungguh-sungguhlah kalian dalam jalan-Nya, semoga kamu mendapat kemenangan.
Semestinya Rasulullah Saw telah menjelasan makna wasilah, dengan perantara tunggal. Sayang kebanyakan manusia, seperti orang-2 yang berfaham Wahabi dan lainnya memberinya arti yang membelakanginya. Hingga mereka tidak memahami hakiki kekuasaan Allah Swt serta kedudukan Rasulullah Saw.
Kata wasilah memiliki arti perantara dan kedudukan disisi Allah Swt, yang keduanya saling melengkapi.
Mahluk yang menduduki maqam wasilah (derajat tertinggi disi Allah Swt), maka ia menjadi perantara antara Allah dan hamba-Nya).
Dan yang dijadikan sebagai perantara, maka kedekatannya kepada Allah Swt telah mencapai derajat tertinggi.
a. Makna kedudukan.
Dalam tafsir Ibnu Katsir tertulis sabda Rasulullah Saw :
إنَّ الوسِيْلَةَ دَرَجَةٌ عِنْدَ اللهِ لَيْسَ فَوقَهَا دَرَجَةٌ فَسَلُوا اللهَ أَنْ يُؤْتِيَنِي الوَسِيْلَةِ عَلَى خَلْقِهِ
Sesungguhnya wasilah itu derajat disisi Allah, maka mohonlah kamu semua kepada Allah agar Ia memberiku wasilah kepada mahluknya. (HR. Ibn Mardawih dari Abu Said al-Khudzri)
b. Makna perantara.
– Rasullullah Saw bersabda (HR. Muslim, Tirmidzi, Baihaqi dan Nasa’i).:
مَنْ َصلَىعَلَىَصلاَ ةً َصلّىَ اللهُ عَلَيْهِ عَـشْرًا ثُمَ َسـلُوااللهَ لِي الوَسِيلَةً فَاِ ّنَهَا مَنْزلَةً فِي الجَنّةِ لاَ تَنْبَغِي اِلاَّ لِعـبْدٍ منْ عِبَادِاللهِ َوأ رْجوأَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَألَ اللهَ لِي الـوَسِيْلَةَ حَّلَتْ عَلَيْهِ الشَفَاعَةُ
Barang siapa bershalawat kepada-Ku sekali, maka Allah membalas shalawat kepadanya sepuluh kali. Kemudian mohonlah kalian kepada Allah wasilah untuk Aku.
Sesungguhnya wasilah itu merupakan tempat didalam surga yang tidak layak kecuali hanya untuk satu orang dari para hamba Allah. Dan aku berharap sebagai orang tersebut.
Maka barang siapa mohon wasilah untuk Aku, halal baginya syafaat.
Dalam menjelaskan makna wasilah dalam hadis ini,
Syeh Syindi, berkata :
A. لاَيُخْرَجُ رِزْْقٌ وَمَنْزِلَةٌ إِلاَّ عَلَى يَدَ يْهِ وَبِوَسِطَتِهِ
Tidak akan dikeluarkan (oleh Allah) rizki dan kedudukan, kecuali diatas tangan Rasulullah dan dengan perantaraannya. (kitab Hasyiyah Sunan an-Nasa’i, juz II bab shalawat ba’da adzan).
– Firman Allah Swt, Qs.at-Taubah/ 99 :
وَمِنَ الاَعْرابِ مَنْ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْم الاَخِرِوّيَتَّخذُ مَا يُنْْفِقُ قُرٌباتٍ عـِنْدَالله وَصَلَوَاتِ الرَسُوْلِ أَلاَاِنَّهَا قـُرْبَةٌ لَهمْ سيُدْ خِلهمُ اللهُ فِي رَحمَتِهِ اِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَحِيْمٌ
Dan diantara orang-orang arab, terdapat orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir dan ia menjadikan amal yang ia infaqkan sebagai jalan pendekatan (wasilah) kepada Allah, dan (menjadikan wasilah) ketika bersolawat kepada Rasul Ketahuilah, sesungguhnya yang (jalan itu) sebagai pendekat bagi mereka. Dan Allah akan memasukkan mereka kedalam rahmatnya. Sesungguhnya Allah Dzat maha pengampun dan Maha kasih.
Dalam menjelaskan makna kata قُرٌبات = jalan pendekatan, Imam Shawi berkata :
فَمَنْ زَعَمَ اِنَّهُ يَصِلُ اِلَى رِضَا اللهِ بِدُونِ اتِّخَاذِهِ صَلََّىالله عليه وسلم وَاسِطَةً وَوَسِيْلَةً بَيْنَهُ وَبيْنَ الله تعالى ضَلَّ سَعْـيُهُ وَخَابَ رَأ ْيُهُ
Barang siapa memiliki anggapan, bahwa sesungguhnya dirinya dapat wushul sapai kepada ridha Allah tanpa mengambil Rasulullah Saw sebagai penengah (antara) dan perantara antara dirinya dan Allah Swt, maka tersesatlah jalannya dan merugikan pendapatnya. (Kitab tafsir Shawi juz II).
Berdasar kassyaf /rukyah shalihah) dan beberapa bukti naqli (al-Qur’an dan hadis), al-Ghauts Fii Zamanihi Syeh Nabhani Ra, dalam kitabnya Syawahidul Haq, menerangkan :
وَأَمَّا كَوْنُهُ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْطِي وَيَمْنَعُ وَيَقَضِي حَوَائِجَ السَائِلِيْنَ وَيُفـَرِّجُ كُرَبَاتِ المَكْرُوبِيْنَ وَأَنَّهُ يَشْفَعُ فِيْمَنْ يَشَاءُ وَيَدْخُلُ الجَنَّةَ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَلاَشَكَّ فِيْهِ وَلاَ يَتَرَدَّ دُ بِصِحَّتِهِ وَوُقُُوعِهِ اِلاَّ كُلُّ مَنْ تَرَاكَمَ عَلَى قَلْبِهِ الجَهْلُ وَالظَلاَّمُ أَنَّهُ يُعْطِي باللهِ وَيَمْنَعُ باللهِ وَيَقْضِي حَوَئِجَ السَائِلِيْنَ باللهِ وَيُفَـرِّجُ كُرَبَاتِ المَكْرُبِيْنَ باللهِ وَيَشْفَعُ فِيْمَنْ يَشَاءُ بِتَشْـفِـعِ اللهِ لَه.ُ وَلَمْ يَعـْتَقِـدْ أَحَدٌ مِنَ المُسْلِمِيْنَ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُ مِنْ ذَالِكَ شَيْئًا بِنَفْسِه.ِ مَعَ اِعْتِقَادٍ أَنَّهُ سَيِّدُ عَبِيْدِ اللهِ وَأَفْضَلُ خَلْقِ اللهِ وَاَحَبُّهُمْ وَاَقْـرَبُهُمْ اِلَى اللهِ
Keberadaan Rasulullah Saw dapat memberi, menolak, mengabulkan hajat para pemohon, membereskan kekacauan orang. Sesungguhnya Beliau Saw memberi syafa’at kepada orang yang dihendakinya, memasukkan surga kepada orang yang dikehendakinya. Kebenaran hal ini tidak diragukan lagi, kecuali bagi orang yang hatinya dipenuhi kebodohan dan kegelapan.
Rasulullah Saw dapat memberi, menolak, mengabulkan hajat orang, membereskan permasalahan orang tersebut dengan izin Allah (billah), dan memberi safaat orang yang Beliau kehendaki, dengan pertolongan Allah. Tidak ada orang Islam yang memiliki keyakinan, bahwa Rasulullah Saw melakukan semua itu berdasar kekuatannya sendiri. Setiap muslim, memiliki keyakinan bahwa Rasulullah Saw adalah pemimpinan hamba-hamba Allah, mulianya mahluk disisi Allah, dan manusia yang paling cinta dan dekat kepada Allah.
———-
YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH !
Bagi mereka yang belum hafal Sholawat Wahidiyah boleh dengan membacanya.
Dan bagi yang belum bisa membaca Sholawat Wahidiyah seluruhnya, sambil mempelajari, boleh dan cukup membaca bagian mana yang sudah ia dapati lebih dahulu. Yang paling gampang yaitu membaca :
“YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH”
diulang-ulang membacanya selama kira-kira sama waktunya dengan mengamalkan Sholawat Wahidiyah seluruhnnya, yaitu kurang lebih 30 menit. Diawali dengan membaca surat Al-Faatihah 7x, dan diakhiri Al-Fatihah 1x.
Jika itupun misalnya terpaksa belum mungkin, boleh berdiam saja selama waktu itu dengan memusatkan segenap perhatian lahir batin, mengkonsentrasikan diri sekuat-kuatnya kepada Alloh SWT dan merasa seperti berada dihadapan Junjungan kita Kanjeng Nabi Besar Muhammad SAW (istihdlor) dengan adab lahir batin sebaik-baiknya, yakni ta’dzim (menghormat/mengagungkan), ikrooman (memulyakan) dan mahabbah (mencintai) setulus hati !.